Memanggil Kucing

Halo, blog nyaris tanpa pembaca. Akhir-akhir ini, rasanya cuma mata gw yang mendarat di sini. That's fine.

Sekarang setengah 4 pagi, dan kepala kucing dipenuhi gumpalan-gumpalan pikiran yang tersangkut di antara roda-roda kecil yang ada di sana. Pikiran yang, rasanya, tidak terlalu penting dipikirkan kalau dalam standar orang awam. Lebih penting mikirin punya anak, kan?

Jadi, er, apa ya.

Kucing habis nonton dokumenter tentang servants di Inggris jadul. Cukup kompleks, dan tidak seromantis Black Butler. Belum selesai, sih, nontonnya. Habis chat dengen temen (yang berakhir canggung dan gw ingin sekali mencium tanah), dan mengalami techincal dificulties saat mencoba produktif, akhirnya gw mendarat di sini. Tapi ya itu. Tampaknya dulu kaum wanita memang eksklusif diperuntukkan untuk 'domestic service'.

Tapi blog post gw bukan soal itu.

Pernah, nggak, sih, lagi enak-enak jalan pulang trus dipanggil-panggil sama laki-laki nggak dikenal? Macem-macem, bisa dipanggil 'cewek', sekedar disiulin, digoda, atau bahkan dikatain hal-hal yang nggak senonoh?

Image by Tiburon Studios
Itu, kawan, namanya 'cat calling'. Rata-rata cewek pasti sudah pernah ngalamin setidaknya sekali, dan pasti gaada yang suka digituin. Maksudya juga untuk apa, toh? Sekedar menarik perhatian? Persis burung di musim kawin, tapi tanpa kemungkinan berhasil.

--dan parahnya, sepertinya cat calling dianggap normal. Seperti sudah seharusnya terjadi pada wanita.

Mari kita geser topik sedikit. Sejak kelas 1 SMP, semester 2, Kucing selalu berambut pendek. Nggak pernah nyentuh bahu. Bahkan kadang dipotong pendek banget. Dikira cowok sudah bukan hal baru lagi. Rambut pendek bukan standar kecantikan ideal wanita pada umumnya. Gw pun juga nggak 'cantik' atau rapi. Gw anak ingusan yang kebetulan perempuan. Tapi, menariknya, waktu rambut gw cukup panjang untuk kelihatan seperti perempuan, pasti kejadian cat calling. Jadi, kadang-kadang gw berpikir. Hmm, dikira cowok mungkin adalah hal yang menguntungkan.

Suatu hari, gw ditanya sama temen kuliah gw (cowok). Kemarennya gw baru potong rambut. Kok dipotong terus? Panjangin dong sekali-sekali. Pertanyaan yang sudah biasa ditanyain cowok ke gw. Gw jawab secara jujur--pertama, sudah kebiasaan. Ke-dua, supaya nggak digangguin om-om di pinggir jalan. Ternyata, si temen gw malah heran dengan jawaban gw. 

"Lho, harusnya merasa tersanjung dong."

Waktu itu, opini gw akan si cowok itu jatuh sejatuh-jatuhnya. Justified, dia bilang begitu karena nggak pernah ngerasain. It doesn't feel nice. It doesn't feel like a compliment. It's scary, dan karena itu gw selalu jalan cepat kalau lewat segerombolan laki-laki.

Hal-hal seperti ini bikin wanita jadi perlu pengetahuan khusus soal menjadi individu. Sudah ditanamkan oleh ibu. Jangan jalan sendirian, jangan keluar malam-malam, yadda yadda yadda. Wanita tidak punya kebebasan laki-laki yang bisa ke angkringan malam-malam. Ke Indomaret jam 10 malam sendiri sudah menakutkan.

Wanita harus selalu hati-hati, dan itu pun belum cukup kalau ketiban sial.

Suatu malam, gw pulang habis belanja di Alfamart. Itu sudah menjadi hal yang sangat sering gw lakukan. Kebetulan gw beli 2 botol air 1.5l waktu itu, plus belanjaan lain, jadi gw harus tenteng kantong plastik dengan dua tangan. Gw jalan kaki seperti biasa di gang gw yang sering dilewati motor. Jalan lumayan ramai, lah.

Tiba-tiba, satu motor datang mendekati gw. Salam sepersekian detik tiga tangan muncul, dan karena tangan gw penuh belanjaan, walaupun refleks gw jalan, gabisa menepis tangan-tangan tersebut. Akhirnya terkena lah dada kiri gw. Tiga tangan. Plek plek plek. Motor yang ditunggangi tiga anak tanpa helm sekitar 10-13 tahunan itu pun lewat, cekikikan, dan gw cuma bisa ngeliat. Kemudian gw melontarkan jari tengah gw dengan sebutir kata serbaguna, tapi setelah itu gw pulang tanpa ba-bi-bu. Gw memang ingat kalau temennya temen gw pernah kejadian hal yang sama di gang seberang, dan banyaknya legenda lain, tapi ternyata gw sendiri ikut mengalami. Rasanya...aneh.

Bukannya apa, gw cuma heran. Anak ingusan kayak gitu, melakukan hal kayak gitu di jalan ramai. Ya Tuhan, mereka masih anak-anak. Gw malah kasihan. Pendidikan mereka seperti apa? Lalu pikiran gw berlanjut ke budaya Indonesia yang masih penuh... apa sih istilahnya... objektifikasi terhadap wanita?

Waktu itu, gw secara santai beritahu beberapa pihak. Salah satu pihak tersebut memiliki suatu respons yang tidak mengagetkan. Singkatnya, lain kali jangan jalan sendirian, minta ditemenin. Akan jawaban itu, gw merasa seperti pihak yang salah. Padahal gw cuma jalan pulang seperti biasa.

Untungnya gw nggak terlalu parah. Plus penampilan gw kayak udang galah. Bagaimana kalau cewek-cewek yang kebetulan cantik?

Nggak jarang korban pelecehan malah disalahkan seolah-olah mereka yang seharusnya bisa menghindari itu. Misal pakaiannya rada terbuka--pakai celana pendek misal. Pasti disalahkan--"Makanya, pakai baju itu yang sopan.". Oke, menurut gw baju tertutup lebih oke, tapi wanita berjilbab syari juga ada yang dilecehkan? Bagaimana kalau, daripada bergantung ke wanita untuk mengontrol hormon pria, pria-pria sendiri yang mengendailkan nafsu mereka? Bukan binatang, kan?

Oke, lupakan. Dari apa yang sudah gw ketahui, opini gw tidak signifikan.

Gw juga mengalami perpaduan antara perasaan stagnan dan tertekan waktu nulis ini. Ini basically rant seorang anak kuliah telat lulus menjelang subuh. Karena perasaan sumpek itu gw tidak berpikir banyak tentang apa yang gw tulis, jadi sudahlah. Mungkin ini bukan tempatnya berbicara seperti ini. Toh, kalau ada lebih dari satu pasang mata yang melihat entri ini, gw sudah terkejut.

Have a good day,
Kucing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebi Selfie Drawing

KeBi Male Version

Direktur Mun