Sableng, Kucing Sableng.
Yak! Halo. Saya adalah dewa kematian. Hari ini saya dijadwalkan untuk muncul di pintu jamban anda, mengambil nyawa anda, lalu bikin ketupat. Janurnya diganti pake daleman anda. Nggak percaya? Bagus, berarti anda masih waras. Oke, ulang. Sekali lagi halo. Saia Sableng. Kucing Sableng. Panggil aja saia Kucing. Kaget? Ternyata ada kucing yang bisa ngetik sodara”. Tenang saja, anda masih waras (kayaknya, lho, ya). Saia ini (kayaknya, sih) manusia. Saia masih jalan pake dua kaki. Bedanya, mata saia ada empat. Ajib? Ajiiiib. Kenapa, sih, namanya Kucing Sableng? Plis dong ah. Itu nama gaul. Nama gaul di dunia antah berantah. Setara dengan Arnold Swesenegerblablah atau Benedict Cumberbatch. Kalian tidak mengerti! Oke, nggak. Entah karena sedikit salah gaul atau apa, tapi banyak yang manggil gue kucing. Yah, gue emang suka kucing, sih. Suka banget, apalagi kalo pake sambel terasi. Mantap. Pokoknya, gue terkenal dengan panggilan ini. Oke, coret bagian ‘terkenal’, tapi, iya—